Nilai Sakral Hubungan Seksual

Mengapa diharuskan mandi untuk bersuci dari janabah, padahal Anda menegaskan bahwa Islam memandang seks sebagai hal yang alami dan tidak ada unsur penghinaan di dalamnya? Bukankah praktek itu menunjukkan sikap negatif yang terselubung?

Masalah bersuci setelah huhungan seksual sempurna yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, atau setelah keluarnya mani melalui istimna tidak disehahkan oleh kekotoran huhungan seksual.

Kewajiban bersuci setelah janabah adalah karena ia merupakan najasah yang membebani roh; manusia perlu bersuci darinya agar ia keluar (bebas) dari najasah.

Sesungguhnya janabah tidak menajiskan badan, namun benda yang keluar dari seorang lelaki itulah yang najis persis sebagaimana keadaan buang air kecil. Oleh karena itu, dari sisi kenajisan fisik ( an-najasah al-jasadiyyah) , kenajisan tersebut tidak mengenai badan secara keseluruhan pada saat terjadi janabah. Badan tetap suci kecuali tempat keluarnya janabah itu. Dan seseorang bisa saja menyucikan tempat ini dengan cara yang biasa seperti ketika ia menyucikan badannya ketika terkena najis apa pun. Tetapi, masalah bersuci dari janabah mengandung dimensi mistik (al-bu'd al-iyhaiy), karena ia janabah menggoncangkan keseluruhan badan pada saat keluarnya dari badan, berbeda dengan benda-benda lain yang keluar darinya. Ada perbedaan antara benda yang keluar pada saat buang air kecil yang keluar dari badan secara alami tanpa disertai gerakan seluruh badan pada saat keluarnya dan mani yang keluar setelah hubungan seksual, baik dilakukan sendirian atau dengan mitra, yang dengannya keseluruhan badan tergoncang. Dengan demikian, janabah keluar dari seluruh badan, meskipun pada akhirnya diungkapkan dengan keluar dari tempat terbatas (tertentu).

Selanjutnya, janabah membawa pengaruhnya atas seluruh badan. Oleh karena itu, Islam mensyariatkan bersuci (thaharah) ini dalam rangka memperoleh dua tujuan:

1. Pertama, membebaskan manusia dari perasaan yang tidak alami ini yang berupa rangsangan seks yang dirasakannya ketika melakukan hubungan seks, dan sekanakan keluarnya kotoran dari badan manusia setelahnya menjadikan seks terwarnai oleh dimensi spiritual yang mengungguli dimensi materinya. Oleh karena itu, janabah dinamakan dengan hadas besar (al-hadast al- akbar) , bukan hadas kecil (al-hadast al-asghar) seperti tidur dan kencing. Sebab, ia merupakan hadas yang menggerakkan seluruh badan, yang seakan-akan menjadikan manusia merasa kotor meskipun dari sisi tabiat benda yang keluar (mani). Maka masalah ini terkait dengan masalah rohani yang mistik (mas 'alah ruhiyyah iyhaiyyah) .

2. Kedua, Islam ingin menciptakan kesempatan-kesempatan untuk memperoleh kesucian fisik. Bersuci (thaharah) merupakan bagian dari syariat yang Allah menginginkan agar manusia memperluas ruang lingkup rohani dari syariat tersebut. Oleh karena itu, thaharah bukan hanya persoalan menghilangkan kotoran, tetapi "memenuhi" rohani (dengan amalan-amalan yang menerangi rohani-pent.). Oleh karena itu, ketika manusia melakukan mandi janabah disyaratkan agar ia berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah; hal yang menjadikan mandi ini mempunyai nilai ibadah, dan mengisyaratkan bahwa Islam menganggap thaharah sebagai ibadah dan kebersihan, yang melaluinya manusia berusaha mendekatkan diri kepada Allah swt, dan sebaliknya, ia (Islam) menunjukkan bahwa kekotoran merupakan hal yang menjauhkan manusia dari Allah swt.

Apakah kita dapat menganggap bahwa thaharah merupakan usaha untuk memisahkan rohani dari fisik?

Mandi adalah usaha untuk memberi dimensi rohani pada sesuatu yang materi, agar yang bersangkutan terhindar dari perkara-perkara yang materi, yang membawa pengaruh tertentu di badan dan mengandung dampak-dampak negatif atas perasaan manusia.

Pernikahan Saat Kehilangan Daya Syahwat Apabila faktor utama dalam pernikahan adalah pemenuhan kebutuhan seks, maka apakah pentingnya pernikahan menjadi hilang ketika manusia-sekadar pengandaian-berhasil menciptakan obat yang dapat "membunuh" hasrat seksual?

Pertama-tama, Allah menginginkan agar manusia hidup secara alami, kemudian penciptaan obat untuk mengekang kebutuhan alami tidak akan dapat meniadakan kebutuhan itu sendiri. Seandainya kita mampu menciptakan suatu cara untuk melahirkan anak tanpa melalui proses kehamilan, dan tanpa hubungan seksual melalui penemuan kita tentang bahan sperma buatan, maka apakah pembicaraan tentang peniadaan perkawinan secara menyeluruh dan penghapusan hubungan seksual di dunia merupakan hal yang logis?

Obat-obatan-biasanya-bertujuan untuk mengekang "perlawanan" sebagian kebutuhan dan mencegahnya dari ekstremitas dalam keadaan-keadaan tertentu, bukan malah bertujuan untuk ..membunuhnya". Kita mengetahui bahwa kebutuhan seksual bukan hanya kebutuhan materi semata, tetapi ia adalah kebutuhan materi dan rohani, yang di dalamnya aspek naluriah dan aspek insaniah bergabung.

Hubungan seksual merupakan bentuk afiliasi insani antara pria dan wanita, di mana sisi rohani dan rasio turut serta dalam afiliasi keduanya bersama sisi materi. Maka, masalah pernikahan tidak hanya memiliki satu dimensi. Dan kami kira, problem-problem kemanusiaan tidak dapat dipecahkan dengan mengambil (menciptakan) obat untuk membekukan sumbernya, tetapi dengan cara berusaha untuk menciptakan pemecahan-pemecahan yang jauh lebih efektif.

Bagaimana kalau tujuan yang ingin dicapai hanya bersifat materi, apakah tepat penggunaan obat semacam ini?

Kami tidak yakin seperti itu. Obat bisa saja memalingkan seseorang dari suatu keinginan, tetapi ia tidak mewujudkan bagi seseorang kenyamanan psikologis dan fisik yang diinginkannya pada saat memanfaatkan potensi ini.


Hak Seksual Wanita .
Jelas sekali dari apa yang Anda paparkan tentang ketergantungan keluarnya wanita pada izin suami, terdapat penegasan Anda akan hak seksual pria. Bukankah perempuan juga memiliki hak yang sama?

Umumnya para fukaha tidak menganggap hubungan seksual sebagai hak perempuan, namun ia merupakan hak mutlak bagi laki-laki. Bahkan, sebagian mereka berpendapat bahwa wanita tidak berhak meminta talak pada saat suaminya pergi darinya selama empat bulan sementara suami masih memberikan nafkah kepada si istri. Namun, kami menentang pendapat ini, karena pernikahan dijadikan untuk melindungi wanita dan pria secara sama. Terdapat banyak hadis yang mendukung hal ini, di antara nya disunahkannya pernikahan sedini-dininya bagi perempuan. Selanjutnya, tidak adanya pengakuan tentang hak seksual wanita menjadikan pernikahan sebagai faktor penyimpangan sebagai ganti dari perlindungannya. Sebab, wanita juga mempunyai nafsu seksual dalam pemikahan, yang merupakan sebab pendorong nafsu itu setelah sekian lama sebelumnya tersembunyi.

Seks adalah salah satu tujuan pernikahan terpenting bagi pria dan wanita. Wanita tidak menikah agar dapat makan dan minum bersama suaminya, sebagaimana pria tidak menikah untuk tujuan ini.

Atas dasar ini, kita dapat mengatakan bahwa hak wanita dalam bidang ini seperti hak pria. Dan firman-Nya SWT, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makrut " (QS. al-Baqarah: 228) mencakup laki-Iaki dan perempuan sekaligus. Sebagaimana wanita harus memenuhi keinginan pria, maka pria pun harus memenuhi ajakan seksual wanita kepadanya, terutama apabila ia khawatir terjerumus ke dalam hal yang haram.

Apabila kenikmatan seksual merupakan hak wanita. Atas dasar apa sebagian orang mengkhitannya dengan mengatasnamakan Islam?

Khitan merupakan suatu tradisi yang ada pada masyarakat Arab pra-Islam. Di dalam Islam sepanjang pengamatan kami tentang hadis-hadis tidak disunahkan. Apabila khitan justru membahayakan bagi si anak perempuan, maka hal itu haram, karena tidak dibenarkan bagi ayah mendatangkan sesuatu yang menyebabkan mudarat bagi si anak perempuan.

Wanita yang Nusyuz dan Tindak Kekerasan Melawan Wanita .

Bilamana wanita juga memiliki hak seksual atas suami, maka apakah dianggap benar pemberian hak kepada suami untuk memukul istri pada saat dia tidak mau memenuhi hak ini. Bukankah hal itu merupakan pembenaran atas tindak kekerasan melawan wanita, dan pelecehan terhadap martabatnya sebagai manusia?

Pertama-tama, hak suami untuk memukul istrinya pada saat ia enggan untuk memenuhi hak seksualnya, yakni nusyuz-nya, kembali kepada hubungan suami-istri yang merupakan sarana yang sah ( al-washilah as-syar'iyyah) baik secara agamis, hukum, dan sosial-untuk memuaskan kebutuhan seksual ini bagi wanita dan pria, di mana dengannya kedua belah pihak tidak perlu kepada tempat penyaluran seksual di luar rumah. Apabila si istri menentang suami dalam hal ini baik sementara maupun selamanya seperti, si istri meninggalkannya pada waktu tertentu atau
pada saat yang cukup lama, maka si pria terancam penyimpangan, dan dia harus memilih beberapa cara ini untuk memecahkan problemnya bersama istrinya:

Menasihati dengan segala cara.
Menjauhi tempat tidur (pisah ranjang) , yakni pendidikan jiwa.
Menikah lagi dengan wanita lain. Ini adalah suatu usaha yang bukan merupakan jalan keluar itu sendiri, sebab masalah yang sama bisa saja terulang pada pemikahan kedua. Mengajukan masalah ini kepada hukum (peradilan), tetapi hukum tidak dapat memaksa wanita untuk melakukan sesuatu, karena ia tidak dapat melaksanakan ketetapannya dalam problem keintiman ini. Terakhir, talak, yang merupakan pelarian dari masalah, bukan solusi darinya. Adapun jika alternatif-alternatif ini tidak terwujud sebagaimana telah kami jelaskan, dan si istri tetap tidak sadar melalui nasihat atau pisah ranjang, maka si suami boleh memukul, dengan pertimbangan bahwa ia adalah pemilik hak. Inilah maksud dari ayat yang mulia dalam firman-Nya SWT, "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan Pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. " (QS. an-Nisa': 34) Para mufasir menyebutkan bahwa pukulan tersebut harus tidak kasar (bengis), sekira-kira tidak melukainya dan mematahkan tulangnya, serta menjauhi pukulan ke arah wajah.

Demikianlah, pukulan tersebut merupakan solusi realistis dari problem khusus dan intim dalam hubungan suami-istri, dan bukan sebagai pembenar atas tindak kekerasan melawan wanita. Suami tidak berhak memukul istrinya pada saat ia tidak mengurusi tugas rumah, dan tidak juga karena dia tidak menjaga anak-anaknya, karena itu sama sekali bukan termasuk kewajibannya.
Suami tidak berhak memukulnya untuk tujuan pribadi apa pun, sehingga kita mengatakan itu adalah usaha pembenaran atas tindak kekerasan menentang wanita, namun ia berhak memukulnya hanya dalam keadaan khusus ini yang mengancam lembaga pernikahan dengan kehancuran.

Sesungguhnya suami yang mengemban tanggung jawab pernikahan, yang berhubungan dengan mahar, nafkah, dan sebagainya, memiliki otoritas yuridis (as-sulthah al-qanuniyyah) dalam memecahkan problem suami-istri melalui penggunaan pukulan yang bersifat mendidik, untuk melindungi kehidupan rumah tangga dari kenegatifan yang boleh jadi menghancurkan lembaga perkawinan, dan kemudian kehidupan suami dan istri sekaligus.

Islam tidak memandang hubungan suami-istri dengan suatu pandangan yang idealis, dimana pria dan wanita dipandang sebagai dua malaikat dari para malaikat, seperti yang dilakukan sebagian orang. Melainkan ia melihat hubungan tersebut dengan penglihatan yang realistis, yang memperhatikan di dalamnya gerakannya pada saat suka dan dukanya sekaligus.

Demikianlah, pukulan yang berangkat dari emosi semata adalah tindakan buas dan kejam. Itu bisa terjadi ketika pria melalimi wanita, di mana dia memukulnya dengan cara hewani dan menganggap dirinya sebagai penguasa mutlak atasnya. Namun, pukulan yang berangkat dengan cara yang disebutkan di atas merupakan tindakan yang rasional dan bukan tindakan yang kejam, karen tujuannya bersifat memperbaiki. Dengan kata lain, tidak selalu harus memperhatikan sarana ( al-washilah) dengan mengesampingkan tujuan yang berusaha diraihnya.

Nilai sarana tergantung kepada nilai tujuan dan dasarnya. Apabila tujuannya adalah menyelamatkan rumah tangga, dan selajutnya institusi keluarga dari keretakan, maka sarana yang digunakan, meskipun tampak kejam dalam bentuknya secara langsung, namun ia dibenarkan dan dianggap rasional dari sudut tujuan yang berusaha digapainya. Kemudian adanya tindakan yang bersifat preventif (al-ijra' al-wiqaz) ini dengan sendirinya merupakan tindakan pencegahan secara dini terhadap wanita agar menjauhi praktek nusyuz yang dapat menghancurkan kehidupan rumah tangga sebagaimana telah kami katakan. Segala tindakan edukatif atau yang bersifat menghukum (qishashz) tidak hanya-pada hakikatnya memiliki satu dimensi, namun ia mempunyai dua dimensi: pertama, ia sendiri terkesan berbentuk tindak kriminal, ini dilakukan karena keinginan untuk menerapkan kebenaran dan keadilan; dan kedua, menangkis orang-orang yang akan mempermudah (meremehkan) untuk melakukan hal yang serupa.

Apakah undang-undang kriminal internasional yang melindungi kemaslahatan manusia memandang penggunaan pukulan jika memang dituntut oleh kepentingan umum bagi suatu masyarakat sebagai bentuk penghinaan terhadap kehormatan manusia? Apakah ketika kita memukul anak-anak kita jika mereka salah merupakan tindakan pelanggaran terhadap kemanusiaan mereka. Apakah itu berarti kita tidak mencintai mereka? Kami tegaskan bahwa selain keadaan nusyuz, tidak diperkeankan bagi pria (suami) atau ayah atau saudara laki-laki, atau paman dari pihak ayah atau paman dari pihak ibu atau siapa pun dari kaum pria untuk melanggar kemanusiaan wanita, dan tidak seorang pun memiliki hak-menurut syariat-untuk memukulnya.

Apakah seks bisa berubah menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan wanita terhadap suaminya meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginannya?

Seks adalah kebutuhan manusia yang alami seperti makan dan minum.
Tujuan dari kewajibannya di dalam hubungan suami-istri adalah usaha membentengi pria dan wanita dari penyimpangan sebagaimana telah kami jelaskan. Kemudian, masalah selera ( mizaj) tidak dapat diberi tempat untuk mengatur kesempatan-kesempatan pemenuhan kebutuhan tersebut. Karena, hal itu boleh jadi akan menyeret kedua belah pihak ke penyimpangan, terutama laki-laki yang cepat terangsang daripada wanita, dan lebih potensial jatuh di bawah tekanan dorongan seksual. Karenanya, pemaksaan laki-laki terhadap istrinya agar memenuhi hak seksualnya adalah hal yang alami dan bukan sesuatu yang aneh.

Tidakkah pemukulan pria terhadap wanita bertentangan dengan cara memandangnya sebagai mitra hidup?

Ketika wanita memasuki kehidupan berumah tangga, ia memasukinya dengan pilihannya sendiri tanpa ada seorang pun yang memaksanya atas hal itu. Dan ia-tak syak lagi-mengetahui bahwa suami mempunyai hak-hak tertentu dari sisi kemanusiaan yang alami, sehingga ia dapat menerima pernikahan atau menolaknya. Pada saat ia melaksanakan akad nikah berarti ia mengikat dirinya dengan sesuatu yang tercakup dalam akad tersebut, dan si suami menuntutnya untuk konsekuen terhadapnya, sebagaimana ia juga menuntut si suami untuk berwatak teguh terhadap komitmennya. Kehidupan manusia tegak berdasarkan kesepakatan bersama yang mengharuskan adanya komitmen setiap orang terhadap perjanjian yang telah disepakati dengan orang lain.

Karena itu, keberadaan wanita sebagai mitra kehidupan mengharuskannya untuk konsekuen terhadap apa yang diharuskan oleh kemitraan itu. Kalau tidak, maka penentangannya terhadap pria dalam hal ini tentu akan mendorong pria untuk melakukan talak, atau menikah dengan wanita lain, atau terjerumus ke dalam penyimpangan, dan semua itu mendatangkan kerugian bagi wanita. Sesungguhnya pengkajian masalah seperti ini harus dibungkus dengan obyektifitas seutuhnya, dengan tidak hanya melihat satu sisi yang tampak-tanpa memperhatikan sisi-sisi yang lain-tragis.

Apabila suami dapat memukul istrinya guna menuntut haknya, apa yang dapat dilakukan wanita jika si suami melanggar hak-haknya?
Ada pendapat Sayid Muhsin al-Hakim dan Sayid Syahid Muhammad Baqir Shadr yang kami sepakati, yaitu apabila si suami yang justru melakukan nusyuz, di mana dia tidak mau menenuhi hak istrinya, maka wanita juga boleh tidak memenuhi haknya, dan apabila dia (suami) tidak memberikan nafkah atasnya, maka si istri pun dapat menolak untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Adalah tidak tepat dalam hubungan suami-istri apabila justru wanita yang melakukan praktek pemukulan terhadap pria.

Apakah pernyataan Anda ini membolehkan kita untuk memberikan wanita hak untuk meninggalkan rumah tangga ketika kehidupannya bersama suaminya tampak mustahil untuk diteruskan lagi disebabkan oleh situasi-situasi eksternal yang tak dapat ditahannya, atau disebabkan oleh penindasan suami terhadap kemanusiaannya, dan dibarengi dengan tiadanya kepemilikannya terhadap hak talak?

Meskipun wanita mengalami masa-masa sulit di dalam rumah tangga, ia tidak dapat lari dari suaminya dan mengadakan penentangan terhadap hak-haknya, karena ia-dengan adanya akad nikah-terikat untuk melaksanakan hak-hak yang telah berubah menjadi perjanjian antara ia dan suaminya. Oleh karena itu, hendaklah ia sebisa mungkin bersabar atas situasi buruk yang mengitarinya. Adapun jika si suami sendiri yang menindas kemanusiaannya, maka ia berhak untuk mengadukannya kepada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk menekannya dan memaksanya untuk bertindak seimbang dalam kehidupannya bersama istri. Adapun jika problemnya bersama suami telah sampai ke tembok buntu, maka ia dapat mengadukan perkaranya ke hakim syar'i, yang barangkali dia menemukan baginya (wanita) kesempatan untuk melakukan talak dan lari dari realitasnya. Ini dari sisi prinsip (mabda) , dan pada setiap kondisi terdapat hukum yang sesuai dengan karakter-karakter yang ada di dalamnya.

Apakah Hijab Merupakan Fenomena Terorisme dan Tindak Refresif ?
Media massa Barat-akhir-akhir ini-menghubungkan jilbab dengan terorisme. Apakah menurut Anda ada hubungan antara kedua hal tersebut?

Tidak ada hubungan antara terorisme dan jilbab. Sesungguhnya para teroris itu dari kalangan pria. Ini adalah keadaan yang diperoleh masyarakat Timur dari masyarakat Barat. Terdapat kelompok mafia yang banyak melakukan tindak kekerasan dan teror. Persentase terorisme yang ada di Barat, termasuk Amerika dan Eropa, jauh mengungguli apa yang dinamakan dengan terorisme di dunia Timur atau dunia ketiga. Kata terorisme, kemunduran, dan fanatisme termasuk dari kata- kata yang bersifat konsumtif yang diciptakan Barat untuk membentuk opini dunia internasional guna melawan kaum Muslim dan orang-orang yang religius.

Francisco Bero menegaskan bahwa jilbab merupakan simbol penindasan wanita, dan bahwa sekolah-sekolah Perancis harus melindungi orang yang lemah, dengan pertimbangan bahwa munculnya ketegangan terbatas hari ini lebih baik daripada munculnya pergolakan besar esok. Apakah peryataannya ini sesuai dengan pernyataan tentang penghormatan kebebasan manusia yang selalu didengungkan oleh Perancis?

Kami bertanya-tanya: Apakah orang ini mengizinkan para mahasiswi untuk pergi ke sekolah dalam keadaan telanjang? Tentu, tidak. Kalau begitu, mengapa dia menganggap bahwa kita menindas wanita ketika kita mengharuskannya untuk menutup bagian-bagian yang merangsang dalam tubuhnya, atau ketika kita menekan pria untuk menutup bagian-bagian sensitif dalam tubuhnya? Jika masalahnya adalah kebebasan mutlak, maka kita tidak boleh menekan masyarakat Perancis atau masyarakat mana pun guna memakai pakaian, dan kita tidak boleh melarang masyarakat mana pun untuk telanjang. Tetapi, apabila kita menganggap bahwa telanjang adalah masalah yang ditentukan oleh kemaslahatan manusia yang menggambarkan esensi gerakan kebebasan, maka wanita-wanita yang berjilbab pun percaya bahwa dengan itu mereka dapat menjaga kemaslahatan manusia karena meninggalkan jilbab justru akan merusak tatanan sosial dan moral yang para penganjur pencopotan jilbab juga mengklaim ingin memperjuangkannya.

Adapun pernyataan tentang penindasan wanita, perlu diketahui bahwa mahasiswi-mahasiswi yang berdemonstrasi menentang undang-undang pelarangan jilbab di sekolah di Perancis, mereka berangkat dari kemauan mereka yang religius dan khusus berkenaan dengan hijab, bukan dari tekanan keluarga. Merupakan penindasan kebebasan bila kita memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak disukainya. Para wanita yang konsekuen dengan jilbab tidak mengalami penindasan kebebasan melalui adanya jilbab mereka. Sebaliknya, pemaksaan pencabutan jilbab atas mereka justru menindas kebebasan mereka. Oleh karena itu, masalah tersebut malah terbalik secara logika, sekalipun dalam tolok ukur logika kebebasan yang dipegang erat-erat oleh Perancis.

Kaitan hijab dengan bentuk penindasan ini menjadikan kaum hawa di masyarakat Arab dan Islam merespon suara-suara yang lantang di masa sekarang, yang mengajak untuk mencopotnya. Bagaimana Anda menjelaskan respon yang luas terhadap ajakan itu?

Dalam masalah ini terdapat dua hal: Pertama, banyak wanita yang memakai jilbab yang tidak bersandarkan kepada kaidah komitmen keagamaan (qa'idah al-iltizam ad-diniy), yang mengharuskan adanya keterbukaan (patuh) terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya yang jauh dari kecenderungan-kecenderungan diri (nawazi' ad-dzat) dan perubahan-perubahan situasi sosial. Bagi mereka, jilbab sekadar sebuah tradisi di antara tradisi-tradisi lain. Kita menemukan sebagian orang tua-meskipun mereka yang religius-membenarkan di depan anak-anak perempuan mereka keharusan memakai jilbab, tetapi mereka menganggap bahwa pencopotan jilbab merupakan aib yang ber akibat kepada ancaman kritikan orang terhadap mereka (anak-anak perempuan) , dan itu merusak kehormatan ayah, keluarga, dan sebagainya. Para orang tua itu menanamkan pada benak anak-anak gadis bahwa masalah tersebut (jilbab) berhubungan dengan adat-istiadat dan tidak berkaitan dengan komitmen keagamaan dan dengan ketakwaan.

Oleh karena itu, terkadang kita menemukan para pemudi yang rajin melakukan salat, puasa, dan terikat dengan pelbagai hukum syariat, tetapi mereka tidak peduli dengan jilbab mereka, dengan alasan bahwa jilbab termasuk adat yang sudah usang, dan tidak ada kaitannya dengan agama. Oleh karena ini, kami percaya bahwa sistem pendidikan merupakan salah satu faktor yang bertanggung jawab atas respon para wanita terhadap ajakan untuk mencopot jilbab. Oleh karena itu, sistem pendidikan dalam aspek ini harus menggunakan komponen-komponen agama yang menjadikan pemikiran wanita terhadap jilbab sama dengan pemikirannya terhadap salat dan puasa, dengan perinsip bahwa jika merupakan suatu kewajiban yang di perintahkan Allah sebagimana Dia memerintahkan salat dan puasa. Jadi, bukan sekedar keadaan darurat yang diharuskan oleh adat dan budaya sosial, atau di wajibkan oleh situasi-situasi insidetial (al-audah' ad-dzatiyyah) atau keluarga, dan ia bukan termasuk masalah aib dan sebagainya.

Ini masalah pertama. Adapun masalah kedua yang dapat wanita mencopot jilbab dengan cara seperti ini. Penindasan berat yang kemanusiaannya di campakan di depan orang, dan kepribadianya dipinggirkan. Dibisikannya kepadanya bahwa ia sekedar "barang" dari "barang-barang" pria, yang dia (pria) menjaganya (perempuan) dengan menyembunyikannya dari penglihatan sebagaimana di menjaga barang-barangnya, dan dia tidak melihatnya sebagai manusia yang memiliki akal dan iradah (kehendak). Kehidupan wanita, harapanya, impian-impiannya jauh dari pikiran pria. Dan boleh jadi Jilbab telah menjadi-sehubungan dengan wanita dalam situasi sosial saat ini-penjara yang di alami wanita, yang mendorong adanya usaha untuk menembus dinding penjara, Persis sebagaimana keadaan orang hidup dalam kebuntuan, dimana ia berusaha keluar dari kebuntuan itu dengan cara apapun, tanpa memperdulikan akibat-akibat yang menyertainnya-kebutuhan baru yang lebih sulit dan kan menjerumuskan ke problem-problem.

Apa peranan Barat dalam bidang ini ?

Sesungguhnya hegemoni barat atas kawasan islam secara politis akan di ikuti oleh hegemoninya atas garis-garis (kebijakan) Budaya dan sosial di dalamnya, yang memperkuat keinginan wanita untuk menembus "pagar-pagar hijab" sebagai bentuk respon terhadap inspirasi-inspirasi budaya yang mengelabui pikirannya dan membuka lebar-lebar pintu ke kebebasannya. Dan Barat memanfaatkan-untuk menegaskan ajakannya-fenomena realistis yang dialami wanita dan mereka (barat) menggagap bahwa itu merupakan akibat dari ampas-ampas Islam.

0 comments:

Posting Komentar