Uang seratus perak mungkin sudah tidak ada nilainya bagi kita pada umumnya. Dapat apa kita dengan uang seratus perak? Paling-paling sebiji permen. Es kenyot saja harganya dua-tiga ratus perak. Hingga kadang-kadang jika ada uang seratus perakan jatuh, kita malu untuk mengambilnya, atau malah tidak peduli. Cuma seratus rupiah ini! Mungkin begitu pikir kita.Saya pun selama ini juga berpendapat demikian. Seratus perak tak ada artinya sama sekali. Kadang-kadang uang seratus perak-an bertebaran dimana-mana. Apalagi saya sudah berpenghasilan. Membeli makan dengan harga beberapa ratus atau beberapa ribu lebih mahal tidak masalah. Membeli baju atau sepatu di mal, dengan kembalian seratus perak tidak diambil, biasa saja.
Sampai suatu hari...
Saat itu sore tanggal 31, tanggal paling tua dalam satu bulan. Uang ditangan tinggal tujuh ratus perak. Sementara uang gaji baru akan saya terima keesokan harinya, tanggal satu bulan berikutnya. Saya bingung, bagaimana besok saya ke kantor? Sedang ongkos angkot seribu rupiah? Pinjam teman? Wah, saya malu. Karena saya sudah meminjam uang beberapa hari sebelumnya untuk makan beberapa hari itu. Lagipula mereka juga sedang tidak punya uang, tidak enak rasanya.
Tiba-tiba saya ingat kebiasaan saya menaruh uang seratus perakan sembarangan. Maka saya pun mulai bergerilya, membuka semua laci, kantong baju, saku tas dan kotak-kotak, bahkan menelusuri kamar mandi, kolong tempat tidur dan kolong bangku. Tapi entah kenapa, hari itu uang logam yang biasanya bertebaran tak nampak satu pun. Hingga menjelang berangkat ke kantor, saya hanya menemukan dua biji seratus perakan dan 4 biji dua puluh lima perakan. Sudah pas seribu rupiah sebenarnya, tapi apa sopir angkotnya mau menerima uang dua puluh lima perakan yang tidak laku itu? Akhirnya saya berangkat sambil sepanjang perjalanan dari rumah menuju jalan raya berharap-harap bisa menemukan sebiji seratus perakan lagi di jalan. Tapi kali ini saya juga menemukan kenyataan yang sama, tidak menemukan sebiji pun logam seratus perakan.
Sampai di tempat saya biasa mencegat angkot, saya berhenti sejenak. Saya ragu untuk naik. Duitmu khan pas seribu? Naik aja! Bisik hati saya. Tapi apa sopirnya mau menerima uang dua puluh lima-an? Bisik hati saya yang lain. Saya khawatir nanti diomeli oleh sopirnya karena ongkosnya kurang. Malu, kan? Apalagi saya berjilbab. Gimana kalau dibilang,”Jilbaban kok pelit dan ngirit?”
Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan kaki lebih jauh lagi, agar bisa naik angkot dengan ongkos sembilan ratus perak. Sambil berjalan mata saya masih juga menjelajah, menelusuri trotoar yang saya lalui. Tiba-tiba saja bayangan para pemulung dan gelandangan yang mengorek tempat sampah untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan dan dijual memenuhi benak saya. Berbagai perasaan berbaur, ada sedikit geli, tetapi lebih banyak nyeri. Pasti lebih nyeri lagi mereka yang terpaksa mencari sampah untuk makan.
Ketika itulah saya bisa merasakan, betapa uang seratus perak ternyata sangat berarti saat kita tidak punya uang. Lantas bagaimana dengan mereka yang sering kali tidak memiliki uang? Atau punya uang sehari-harinya hanya beberapa ratus perak atau beberapa ribu saja? Sedang saya seringkali menganggap beberapa ratus rupiah itu tidak berarti dan dengan mudah membelanjakannya tanpa pertimbangan? Makan dan jajan suka-suka. Belanja juga suka-suka.
Padahal, uang seratus perak yang tidak berharga bagi saya itu mungkin akan sangat berharga bila diberikan kepada pengemis, anak jalanan, anak yatim, menambah ongkos angkot (rezeki sopir nih) maupun memberi lebihan kepada pedagang kaki lima. Karena barangkali, mereka lebih sering tidak punya uang, dibanding saya yang kehabisan uang untuk ongkos, namun masih punya harapan akan menerima gaji.
Azimah Rahayu
2 comments:
Ya mbak, saya dulu juga sering gitu. Ni bisa jadi pelajaran berharga bagi kita semua,agar lebih menghargai sesuatu
^_^!!
Posting Komentar