Saat Usia Dua Puluh Tahun..

AlDakwah.org--Pertama kali mengenalnya saya tak terlalu terkesan. Biasa saja. Seorang wanita lajang berusia sekitar 27 tahun. Berprofesi sebagia guru TK Islam. Warga paling senior dikost-an yang akan saya masuki. Sedikit kasihan menyelip di dada saya, melihatnya masih sendiri, padahal budaya kampus di lingkungan kami saat itu, usia 27 termasuk dalam kategori terlambat. Lebih dari tujuh tahun yang lalu.

Setelah beberapa lama mengenalnya saya mulai mengaguminya. Dia dewasa. Cerdas, berwawasan luas dan berpikiran bijak, serta maju dan moderat, tidak saklek. Lebih lagi, dia sering dimintai pendapat para orang tua murid tentang anak-anak mereka, dan dicintai oleh anak-anak itu sendiri. Saya sering ikut membantunya mengasuh anak muridnya yang dititipakan di rumah sepulang sekolah karena kedua orang tuanya bekerja.

Saya pernah bertanya, mengapakah dia ‘mau’ hanya sekedar menjadi seorang guru TK, padahal dia punya potensi untuk berkembang lebih baik? Dan apakah dia akan selamanya menjadi guru TK, seperti yang sudah dijalanainya sekitar lima tahun? Tentu saja dia tak ingin ‘begitu-begitu’ saja. Sebagaimana manusia pada umumnya, dia juga punya mimpi. Namun jika Alloh belum menghendaki, adakah yang bisa dilakukan seorang muslimah kecuali menjalani apa yang dipaketkan oleh Allah dengan sebaik-baiknya? Itu jawabnya waktu itu. Dan dia pun bercerita tentang perjalanan hidupnya.

Tahun 1988, dia lulus Sipenmaru ke UGM Fakultas Ekonomi Akuntansi. Cukup bergengsi. Ketika dia menginjak tahun kedua kuliahnya, mulai ada riak dalam kehidupan keluarganya yang semula sangat berada dan bahagia. Ayahnya meninggal. Sedang keempat kakaknya masih kuliah. Dua di ITB, satu di UI, satu di Unair dan adik bungsunya, laki-laki, diterima di ITB. Maka dia pun memutuskan untuk mundur, demi kakak-kakaknya yang hampir selesai, dan demi adik laki-lakinya. Keluar dari UGM, dia mencoba test masuk STAN dan diterima di Prodip Anggaran. Sebuah pilihan yang realistis, karena kuliah di STAN gratis, bahkan mendapat uang saku.

Namun persentuhannya dengan fikrah islam yang berkembang pesat saat itu membuatnya kembali mengambil keputusan berani: Keluar dari kampus pada tahun kedua kuliahnya. Banyak memang akhwat yang mengambil keputusan keluar dari kampus agar terlepas dari kewajiban ikatan dinas. Sebagian besar dari akhwat yang keluar itu kemudian menikah. Dia? Alloh belum menakdirkan, hingga kami bertemu, lima tahun kemudian. Tentu saja, selama lima tahun itu, banyak yang berubah dalam kehidupan keluarganya. Kakak-kakaknya satu persatu berhasil. Dan mereka pun menawarkan bantuan. Tapi dia lebih memilih hidup dari keringatnya sendiri. Betapa pun berat dan jumud perjalanan hidupya.

Setahun kami bersama, dia mulai mencoba usaha baru dengan bergabung di Pustaka Time Life direct selling. Di sini dia menunjukkan kemampuan marketingnya. Dalam waktu satu tahun, dia mampu menembus target hingga, selain poin yang dia peroleh, dia mendapat bonus satu set ensiklopedi senilai 3,5 juta. Sebuah nilai yang cukup besar untuk tahun 1997. Berbarengan dengan itu, Jurusan Psikologi UI membuka kelas ekstensi malam hari. Berbekal dana yang dikumpulkannya dari penjualan buku Pustaka Time Life, dia pun mencoba mendaftar dan lolos. Maka hari-harinya pun mulai berbeda. Dia menjadi mahasiswi lagi, mulai dari awal, semester satu. Dinamis. Tahun 1998, karena sesuatu hal, dia keluar dari TK tempat dia mengajar, dan pindah ke sebuah lembaga pendidikan sejenis yang sedang berbenah, sebagai sekretari umum.

Tahun 1998 pula kami berpisah karena saya yang sudah bekerja pindah kantor dan dia tinggal bersama kakaknya. Namun kami tetap keep contact melalui telepon atau janjian untuk ketemu, meski tidak terlalu sering. Dan setiap ketemu kami saling bercerita tentang aktifitas baru kami. Kadang saya juga berkonsultasi atas masalah-masalah saya. Dari pertemuan-pertemuan itulah saya makin mengagumi keuletannya, ketegarannya, dan napas panjangnya untuk tetap menjaga mimpi-mimpinya. Saya tahu, dia memang makin berkembang, saya juga tahu bahwa dia tetap belum menikah. Tapi saya melihat dia menikmati kehidupannya dengan segala aktifitas yang tengah dia jalani. Hampir setahun yang lalu dia berkata pada saya,”Saya tak takut akan pertambahan usia. Alloh akan memberikan saya sesuatu tepat pada masanya. Mungkin kehidupan semacam inilah yang pas untuk saya saat ini”.

Hingga akhirnya, pekan-pekan kemarin saya mendengar kabar, dia akan menikah bulan depan, di usianya yang menjelang 34 tahun. Dan saya yakin, sudah masanya kalau dia menikah sekarang. Pun saat dia sudah menyelesaikan pendidikannya, setelah melanglang tiga kampus ternama di Indonesia. Sebentar lagi dia akan memperoleh gelar Sarjana Psikologinya. Apa yang terjadi dalam kehidupannya saat ini, bagai puzzle yang jatuh pas pada tempatnya. Semua sesuai, semua cocok. Dan saya tak bisa mengingkari sedikit pun bahwa memang sudah selayaknya dia menjabat apa yang dia jabat sekarang. Saat ini, dia adalah seorang profesional muda di jajaran manajemen lembaga pendidikan yang tengah naik daun. Dia juga menjadi konsultan ahli pada sebuah lembaga pelatihan yang sedang dibentuk sebuah jama’ah dakwah yang sedang meroket. Alloh tak pernah mengingkari janjinya pada orang yang bekerja keras dan bersabar. Segala puji bagi-Nya.

****

Saya termenung. Merenungi perjalanan hidupnya, juga perjalanan hidup saya. Sungguh, begitu panjang jalan yang mesti dia tempuh untuk mendapatkan apa yang akhirnya dia dapatkan saat ini. Begitu berliku dan penuh onak duri. Toh, dia tetap menikmati perjalanan itu. Begitu sering kegagalan dia temui, tapi dia tak jemu untuk mencoba lagi.

Beberapa hari lagi, 27 tahun jatah usia akan saya lalui. Dan tiba-tiba saya merasa sangat malu, mengingat tingkah saya beberapa waktu terakhir. Meratapi kegagalan yang berulangkali menimpa diri. Menyesali kenaifan saya selama ini. Menangisi mimpi-mimpi –yang sesungguhnya- sederhana, namun serasa bagai fatamorgana. Dan akhirnya diam, tak mengerti apa lagi yang bisa saya lakukan sekarang. Menghabiskan waktu dengan tidur dan tidak melakukan apa-apa. Saya merasa sangat ketakutan melewati batas usia 27 tahun. Saya melihat, pintu-pintu peluang telah tertutup dan semua berubah menjadi tembok. Mentok. Saya telah –hampir— memutuskan untuk menjalani saja sisa hari-hari, apa adanya. Mungkin inilah takdir kehidupan saya. Saya capek, capek sekali menjalani hidup ini.

Tapi begitukah? Bukankah teman saya baru memulai ketika usianya telah lewat 27 tahun, dan dia berhasil? Bukankah meskipun saya gagal dan gagal lagi, saya telah lebih banyak mencoba dari dia di saat usianya 27? Dan itu artinya saya punya modal pengalaman lebih banyak dibanding dia saat seusianya dulu? Dan bukankah juga saya lebih banyak memiliki jaringan dibanding dia pada saat yang sama? Dengan begitu saya bisa mencoba lagi dengan rencana lebih matang dan desain yang lebih realistis dengan peluang dan kemampuan yang saya miliki?

Maka mengapakah saya harus berhenti, padahal saya sudah jauh meninggalkan tepian, hingga tak memungkinkan bagi saya untuk mundur dan kembali? Maka mengapakah saya berhenti, sedang itu berarti mati? Bukankah terus melangkah dan mencoba adalah jauh lebih baik, meskipun saya harus gagal lagi atau mati, tapi setidaknya saya akan telah mencoba? Dan saya tahu kini, bahwa pilihan saya hanya satu: Saya harus bangkit dan melangkah lagi. Persiapkan perbekalan, agar terus bernapas panjang. Tak ada kata berhenti, kecuali mati. (Kado kecil untuk seorang ukhti yang akan menempuh hidup baru).end

Azimah Rahayu

1 comments:

Anonim mengatakan...

kembali mebuka mata dan pikiran saya, lagi dan lagi....suka banget :D

Posting Komentar